jendela nella s wulan ,

jendela  nella  s wulan     ,

Minggu, 30 Oktober 2011

CAHAYA TAK KASAT PANDANG

bagaimana mungkin mengaduh di cahaya kini? aku tak sedang demikian. menurutmu, di mana cahaya yang menipu itu, sebab ia tak sedang dusta, masih kau sangsikan? pejam matamu sejenak, biar bebulu mata menari  di sepoi sepi angin yang biasa menerpamu senja. tariklah nafas, hirup penuh syukur hingga hembuskan perlahan. agar kau rasai degup hari hari serba tak terduga. akan kau simak bebunyi tak kentara layaknya ketika kau simak dari gagang telpon, suatu kali dan hanya simak dan simak saja suara wanita yang  terhubungi. merdu, menurutmu? 

kemarilah, kita bincang tentang gerusan musim, yang bergelombang tanya. angin  merupa cahaya pagi ke senja malam. lentera berdendang dengan tepukan telapak tangan anak manusia. tak hanya kartu tarot saja ia ambil dan hempas. sulur sulur telah tercatat indah di telapak siapapun. disetiap lima kali dalam duapuluh empat dentang,tapak tapak tangan kaki kita adu rentang di hampar lantai. ada cahaya di sana, tak mesti kasat pandang. apakah itu cahaya dusta? padam nyala melentera dikeseharian, keluh terbiasa sunyi lebuh, hingga tak membulir pelupuk. kelam kulipat untuk kelopak kelopak yang tumbuh di pepohon rindang. gigi reranting yang berlubang, patah, ganti tumbuh dengan reranting pagi di serat kukus dan jingga.
sudah lama, ya lama sudah aku tak berbincang tentang cahaya. mereka ujar silau, padahal taklah sedemikian, bangku meja isu gejolakkan terik. bila mengenali inti bahan dengan baik, pahamlah bahwa setiap kita taklah senantiasa sama. kodrat manusia kini, lalu dan masa depan_ nyala dikefitrahan. mereka dan kita membawa takdir yang tiada menipu. mereka sering hanya menghitung dibilangan angka angka mana harus diam, duduk, jalan, lari atau melompat!
lama sudah rerumput senandungkan embun yang tiap pagi pelukki pucuk pucuk musimnya. ia cahaya tak membilang rugi untung hiasi  kebun bumi, ladang bahkan semak. di sini, di sana, pun di tanah entah. senyum desiran tulus, rahang gagak binar dengan pelipis pagi. bahkan ketika kemarau menepi, titian bebulir rintih tipis,  senantiasa sejuk di ujung rerumput, di helaian daun daun. bibir pagi, cahaya tak menipu dentang. ia kuat ketika lemah, dan menguat ditemu pandang. bagaimana mungkin tak derai doa ?
*****
bandung, 30 Oktober 2011

Kamis, 27 Oktober 2011

ANGIN

hati siapa yang terapung di lautan
tulang tulang itu selami lebuh mantra
langgam lafadz mendebur
terburai melarut anyir merah asin
tamparan angin sana sini, menghampar lara
silih berganti,  bergeming hening

menyaksi , menyimak _ aku
mata senyap, memandang pedih
telinga menaut tanya : " di mana ini ?"
tiup angin betapa kini
menyimak bisik sebisaku, agar tetap semilir
biar rimbun berdoa,  untuk tak berucap lain

tenang menawan, ayomi para makhluk
sekap pintu pintu relung terindah
: raih buana, pesona semesta
lentur melebur, lebur kian debur!
menambat tulang di rusuk rusuknya
dipiuh angin lautan ke benua

*****
bandung, 28 Oktober 2011

Rabu, 26 Oktober 2011

THE CANDLE LIGHT

barangkali Tuhan cemburu pada kita
sebab berjarak jarak adamu, seringkali begitu

namun tentu tidak relungmu
kusimak bibir pagi, di jingga biru kita
dan telapak basah merindu pagut
kunyalakan lilin, ia serenadekan merdu riak api


awan menari anggun
kesyahduan cekam indah sulur 
kusimak bibir pagi, jingga biru kita
dan jari jari mengurai batu batu rindu
halus lilin memukul mukulnya
hingga menit ini, ia masih membongkah


the candle light
nyala lilin, sayang,  aku demikian api 
bongkah, hembus angin narikan awan
bunyi bunyi masam apa telah tersimak hingga
sebab berjarak jarak adamu, masih begitu
senyumlah di lengkung pagi, nyala  kau genggam


dan Tuhan, IA  berucap halus di jingga biru kita
lengan lengan betapa api






* silence in pray

Senin, 24 Oktober 2011

THE FLOWER ESSENCE



: tuk Suamiku
  14th Anniversary, 25 Oct 1997- 25 Oct 2011

beterbangannya helai dedaun kuning cokelat di tepi kemarau, isyaratkan tunas
yang bakal tumbuh dengan jingga biru langit. ia tergamit dari percik buana. ke-
kayu luarnya melepuh, disetiap lebuh ia derai ucap: bahwa telah merisalah ayu-
nan tungkai kita. di empatbelas tahunmu dan aku, menyurat  hari hari  diragam
bunyi hentak, sesekali cekam keheningan.

"ketuk ketukkan ruas jarimu, sayang,"katamu
"biarkan angin aromakan terik mentari, ia sketsa pemahaman akan rerupa ingat-
an". berpegang tangan, kian kencang aku padamu. serat serat mengelopak. di
beberapa helainya terbang disenandung musim. beberapa ikat bunga  kau  beli
dari pasar untukku, untuk ku taruh di meja oval tempat tinggal kita yang  terka-
dang masih bocor oleh lepuh kemarau. sebotol wewangi bunga,     the    flower
essence, pun kau beri padaku _   bisik dikejauhan: untuk kening, relung   dan
tulang rusuk penggenapku yang akan senantiasa indah. 

suatu saat anak kita teriak,"ayah, kucabut ubannya". lalu kau senyum, membiar
ia tarik beberapa helainya. uban tak senyapkan rentang yang netas khidmat di-
gempita, sayang. ia pesonai ufuk ke senja. esok, seutas akan tumbuh seiring 
mentari. 

demi masa, ketika alam menukik kemarau. senyummu menderai hingar, gejolakkan
angin dimusim  riuh. lelehan lilinnya menerus nyala _  layaknya gerai biru pelangi
yang tercerabut, ia merentang di sudut sudut, mencipta cahaya. tak bertepi.

*****
bandung, 25 Oktober 2011


Jumat, 21 Oktober 2011

MANUSIA POHON


betapa di sekitar manusia pohon itu bergerombol 
orang desa, orang kota,  orang samudera
mereka hirup semilir angin  , sejuk tarik dan hembus

angin
dengan semburat kasih, kibar hingga 
jingga kebiruan kening pipi dagumu
tiupan tak bertepi, sejauh sudut pandang_melambai engkau
senja tiba, "halau menepilah sejenak."
"baiklah,"  hembus terduduk merapal doa, sesekali usap 
punggung tangan sang pohon, semakin cekat_
bercahaya kian kayu kayu hingga dedaun

bila tiba bebintang, hingga lompatan  percik menimpa,
itulah saat dimana orang orang rapatkan riuh cintanya
dan manusia pohon 
usai lembayung senantiasa merindu kerlip
dan selalu kerlap kerlip senyawai senyap kayu reranting 
angin bersideku tiup hingga mengalun sepoi
ia merentang lalu, semarakkan rimbun dengan tarik hembusnya
pukaukan tatap hingga pandang semakin jingga kebiruan

kau, engkaulah manusia pohon 
dedaun julang tumbuh mengembang
tiada ucap gentar, tiada ucap terlambat menata rimbun
disenyum Sang Maha

*****
bandung, 21 Oktober 2011

Kamis, 20 Oktober 2011

GEMBALA


berjalan di sekat sekat labirin, kelok rerumput menggamit
agar tak sedepa pun melicin, senja mengarak denting 12 kekanan
ia gembalakan domba ,  beterbangan bebulunya
angin kala itu dekatkan mimpi akan subur ternaknya
mentari jangkau keindahan menawan, seiring senyum hangat
selalu dirindu:  anak gembala berpedati tali kian percepat larian
domba, mengejar lentera rumput dari semak yang ia kata, taman
tertegun doa merelung juga doamu_ Sang Maha Menahu
walau semakin kutahu, betapa kian tak kumengerti
semakin gegas ia berlari, dengus anjing di balik semak

dedaun bunga taman menepuk sulang, tak hendak kecewa
beberapa tangkai termakan gigit domba gembala
ia bertahan untuk bergetar tumbuh, demi hari  dikunyah peluh
menelannya menjadi bulir daging 
tubuh tubuh makhluk alam, binar melaju 
: mereka masih berlarian, di sekat kelok rerumput
jangan tinggalkan, sebab ia akan berbaring resah
bukan menapaktilasi alas tepleknya, namun tertegun
pesonai wewangi taman taman, usai basah menepi

anak gembala berpedati, berlari lari dengan domba 
berkerumun kasih di hamparan pagi
lonceng kekanan, disetiap dentingnya catatkan langkah  lari
keriap peluh tak mengeluh, syairkan  lompatan gemuruh yang luruh

*****
bandung, 21 Oktober 2011

Sabtu, 15 Oktober 2011

SUKA DUKA : REMANG KUDUK, GAMBAR & HURUF



suka duka adalah remang kuduk,
rimbun senyap dari sela gempita
ia menekuri diri di perbincangan bumi

suka duka adalah aku,
hirup menguarnya aroma manusia pohon
berdenting dedaun melantun
serat serat uban, kian senyumkan pagi
kian kencang bagi dengus angin, bergelantungan
batang batang menguat
manusia memohon rimbun bebulir bening
padanya beranjak suka, terkadang duka

suka duka adalah gambar dan huruf huruf
tersirat, tersurat  di kubang
berserak di dinding dinding bumi


*****
bandung, 15 Oktober 2011

Jumat, 14 Oktober 2011

MATAHARI MASIH


kau simakkah,
matahari masih membisik doa
letup jingga hingga
hingga degup  kening ke tungkai

abaikan bebatu debu
jumpalitan dengki ucap
padahal betapa tak menahu ia

maka matahari masihlah letup

*****
bandung, 14 Oktober 2011

Kamis, 13 Oktober 2011

GENANG DI SUDUT PANDANG

embun haru, genang di sudut pandang
dari jajaran pepohon berkelok
ia membentuk peta dengan batang dan reranting
usai senja, menjadi kunang kunang
lontari bintang hingga kian nyala sayap sayap
kilau neteskan bebulir, hakikat tubuhnya
senantiasa bergidik akan khusyuk  genangan

bebulir, di hampar jajar berkelok batang reranting
turuti tapak tapaknya ayun

*****
bandung, 13 Oktober 2011

Selasa, 11 Oktober 2011

MENANGKUP, MENANGKAP



rebakkan telapak  diuntai putik jari
usah selalu menangkup di ceruk doa
penambahan pahala serat di tapak
di kelopak tangan, terkembang ia nangkap,
genggam, mengurai beku detak
dari bebasah kuyup
dari kepul bakaran kayu suluh
hingga api jalar kelindani adamu!
usah selalu menangkup, lengkung tetulangmu
nelungkup, lihatlah

: rebak, rebakkan ia berjajar berlari
usai ambang pepintu terbuka
menetak  detak melesung pagi

*****

bandung, 11 Oktober 2011

Sabtu, 08 Oktober 2011

BERANDA RERINTIK



rintik ritmis basuh bebatu debu dari bekunya, merupa indah langit
Allah cahyakan tuk berlarian dan menarikan wangi tanah. gelayut
dedaun bebunga di tangkai mengokoh ranting.


di lorong perbincangan, dinding turut menangkup, bisik lirih remang.
malaikat memahat cahya di relung hingga tangan kaki orang orang
kecintaannya. bersampingan,beberapa perbincangan menanti tepuk.
ada yang bermantel, berjins sobek, bergaun tebal tipis, berkaoskaki,
bersarungtangan. jika tindakan akan tentramkan ketenanganku, ber-
tabahlah aku di sini. tapi bila anyir akan ritmis, tak hendak kusimak
rangkai ucapan yang duduk di bangku bangku meja menanti panggil.

tapi adakah cahya melukai? kepada siapa kubagi asing, pukau dari re-
lung, beberapa saja rasai. mestikah dipahat? hati ini tak beku,tak mes-
ti jajar melorongkan diri . biar di suatu ranah sana angin membentuk.
malaikat menahu, tak usah ia memahat. mungkin beberapa hati sebeku
gundu, bebatu atau bongkahan mengkal. mereka masih di sana. dan
telapak tarikku jalan, raup gerimis , darinya kemarau kian menepi. kun-
cup kuncup bunga menyembul di sela sela jari kaki kaki. kita di beranda
rerintik, bergulma zat bumi. dan rerumputan, basah ia tergelak canda,
sesekali sendui muram disekian perbincangan.



*****

Jumat, 07 Oktober 2011

DI TELAPAK TANGAN

lihatlah onggokan apa begitu gumpal di telapak tanganmu , kerikil debu, lembaran kusut, bebunga atau dedaun cemas, gumpal kerakal tabah ataukah bebatu rindu dan karang doa ?
jika kau lihat milikku, akhir akhir ini tak sedang ingin mewarna
senyum entah tak ingin mengembang, nelikung jam jam menawar gerai tapak

meraup pagi yang terkapar, bersegera telapak tangan nangkup
erat di jari jariNYA, berurat semburat merahnya ungu
kemudian siang rebak, bertandang senja di beranda sang malam
tanah melengkung beraspal dingin, gelayut di tarik ruas ruas jeruji

Sang Kuasa , segala ajaibnya IA gamit apapun
terayun aku pun di ayunan ruas ruas jariNYA
onggokan likat memburai lunak, senyummu di sana
malam sekira hunus pedas, mengalun alus hingga di embun segala musim
: nelungkup loncati ruas ruas jariNYA, jariku, bila mungkin jarimu
di telapak telapak tangan, demikian gumpal neka: bungah kesah rasa


*****
bandung, 07 Oktober 2011

Selasa, 04 Oktober 2011

MENEDUH


berlarian, berlompatan
telapak telapak meraup teduh
dari kemarin asap

lalu  hingga sendiri saja
cekam, bumi cengkeram
mengapa api memburu

tata birai
di mana pagi meneduh
di ufuk sejuk rengkuhmu

namun wahai,
sungging senyum belum menguak
meneduh di mana rimbun

*****
bandung, 05 Oktober 2011



Minggu, 02 Oktober 2011

RINTIK

bunga aneka aroma, surga di meja
seketika merintik kelopak
bebulir kata telah terhisap, dari tangkai
bawakan sari makna kerebak sukma
rekah senyap, gejolak kuasa angin
meniup serpih, menitik doa putik
mungkin kini memuara rintik pelupuk
direpih lirih, sorai lerai jangan lukai

julang cita berlaksa derap
geming melarik keheningan biru

*****
bandung, 02 Oktober 2011