jendela nella s wulan ,

jendela  nella  s wulan     ,

Selasa, 31 Mei 2011

KIDUNG BINTANG EDELWEIS


sebab kita tak meminta bintang & bulan tuk senantiasa ikhlas di kerlap-kerlipnya
sebab helanya tak merupa buruh pun kuli yang acapkali mesti diupah sebelum ke-
ring manik keringatnya. kita tubuh angin, kita raga kutub kutub bumi, kita nadir
pengembara laut, daratan juga api yang redam dilebam malam. bersuluh lilin lilin
bintang sedari senja. twilight. selamat pagi, twilight!

bila memoros mentari dimalam, apalah jadinya? biarkan tetumbuh rebak senja oleh
bebintang dan bulan. sebab kita tak meminta pijar kasihnya. sebab penguasa jagad
cipta dan patuhkan ia sebagai nyala nyala sedari senja. barangkali desakan usia tak
membentuknya indah di relung sesiapa, namun duhai engkau, aku pun ia menyutra
lah di helai helai tapak buku bumi. padanya Tuhan telentangkan langit, dengan ke -
sungguhan rindu dan cinta sayap sayap manusia. buluhnya selalu pagi pun diremang
malam saat kelelawar cericitkan kepak.

ketika hebat masih bahu bahu memikul cengkeram risau swargaloka, pastikan kita tata
bebaris tungkai. setidaknya,dunia memagar tentram, mengalun kidung bintang edelweis.

*****
bandung, 31 Mei 2011

Senin, 30 Mei 2011

DUHAI BUMI, DI BAWAH LANGIT


duhai bumi di bawah langit
senja dihantar mentari pagi
siangi temaram siang
lanjut, lanjutkan bebinar
seruak diembun pintu
jendela angin

sebab memendar ia
dari telapak tangan
yang kau pegang


duhai bumi,
malaikat mencatat
setiap eratnya!

*****
bandung, 3o Mei 2011

YANG TUMBUH DIBAKAL BULIR

YANG TUMBUH DIBAKAL BULIR

by Nella S Wulan on Monday, May 30, 2011 at 4:12pm

genggam, kepal batang akar dengan pucuk dahan yang akan nampak

bila mengering tanah itu, gembur gemburkan dengan jejakkan tapak tapak kaki


ia akan kucurkan mata air air mata dari pundi pundi bersimbah siluet

adalah mentari, ia tumbuhkan pepucuk dari siraman air air mata

dimana mana penghuni berkata dengan air mata, hembus angin menerbang debu air mata,

segerombolan anak anak muda bercakap_ berkelakar pun dengan air mata, secara memusim

ia menderas di penjuru mata mata air, ia aliri kering tunas hingga lembab basah

disana serat serat teguk minum dari ceruk ceruk air mata kembara


tanah tanah landai, bila mengering, tarik

ambillah ia, genggam seerat menaut bebakal dari urea di kening keningmu

siramilah dengan mata air terdekat, air air mata pelupuk, seumpama lahan terdekat

akar akar tercerabut tusuk menanti basuh


gembur, gemburkan ia pula oleh jejakkan tapak tapak kaki, padanya setiap jari kucurkan air mata

menumbuhkembangkan pepucuk dahan, yang kelak kita santap seusai gunduk bulir dituai


*****

bandung, 30 Mei 2011


· · Share · Delete

Kamis, 26 Mei 2011

D I A L O G


gelayut mendung awan merapat oleh kibar desau angin. "kemarilah, kita sapa para pemandang

, penyimak serta pembaca alam."

" apa yang hendak kau ucapkan?"

" hanya selamat pagi dan salam sejahtera. semoga nafas nafas kita sejuk."

" itu saja?"

" di kerendahan teramat dalam, mari kita saling mengasihi pejalan terjal berliku. saling gamit dilicin

pematang pun saling mendoa."


"birai kening trotoar adalah pengetahuan. tubuh aspal merupa tes tes soal ujian. indah sapa ajakmu."

" di curam dan terjalnya, kau akan tangguh membawa diri. untuk sesama, bagi anak anak cucumu kelak.

halus busa terpal adalah kelokan yang siapapun mampu laluinya, namun di likat tanah tanah apilah, akan

lontarkan siapa dan di mana adamu."


" bersyukur, berbahagialah." mereka memasuki ruang decak makan tuk bersantap.


awan angin lalu berebut sapa dan ajakan makan. sesekali memagut hidangan bumi yang lezat, amis, harum juga

getir manis asam. mereka kunyah, telan ragam rasa. mereka syairkan rupa rupa kata. dengan belimbing

, pepaya dan jeruk sebagai pencuci mulut.


*****

bandung, 27 Mei 2011



SULUH ANTAH BERANTAH


suluh di rimba antah berantah, sayang,dari kejauhan senampak lambaian bentangi landai daratan
pun samudera yang kelak berenang renang segenap dayung pun mesin boat

membuar denyar denyar kemilau, sayang, biarkan bebintang menyuluh rimba
yang tak tercatat di konsep peta kitab konon, sebab alkisah mengaum porandakan semak

belukar api, menyuluh suluh pun di pembuluh lusuh
hingga menggeriap gosongkan alkisah semak, membelukar ia aromakan antah berantah

bila tiba dentang kita kesana, pada kelak suluh, sayang
entah ia masih bintang, bulan, atau angin lebam dan gosong, ataukah telah merupa pintu langit bumi

yang kita kuak bermantra syukur , bukan seonggok isapan jari para pendongeng curang dilalu masa
kepada suluh dikelak zaman, kutitip dikuasaNYA, nantikan hingga tak memagar esok dilampah

: pintu langit bumi, kepada haribaan cintamu saja, menyuluh merinding !


*****
bandung, 26 mei 2011

Selasa, 24 Mei 2011

PIPIR

PIPIR

by Nella S Wulan on Tuesday, May 24, 2011 at 8:25pm


senja pagi memeditasi

kecipir antanan rebak tumbuh di pipir

perigi pasang berhari hari, sebab penghujan berebut

dengan musim kering


tetumbuhan menyalak sesiang cibir

inginnya halau nyalak pun ringkik yang kemudian

menyeruput diamnya: mencemooh lelubang , ia gali genangan

kubang yang lantas amis, aliri tangan dengkinya

gelantungan lelambai jari jarinya, pada ibunya

: memohon segenap pipir tak nyinyirkan kubang

yang telah ia racau


perigi ketika pasang, menyalak

meringkik teriakkan tunggang langgang mohonnya


terduduk merebah penat senyapmu

: i'tibarlah! senja pagi memeditasi


*****

bandung, 24 Mei 2011





Senin, 23 Mei 2011

S U B U H


terbuat dari sayap sayap apa subuh ini Tuhan ?
ku mohon di segala kuasa pelukMU
untuk basuhi tangan, wajah, telinga, hidung, tangan juga kaki

tak hendak neraka Kau cipta untuk kami, bukan?
ku mohon dari segenap sulbiMU
untuk merangka subuh dari kepak terbang malaikat malaikat

sehingga membuka halus jendela Dhuhur,
kelak pada pepintu 'Ashar, Maghrib pun Isya'
persembahan sujudku menghempas duri duri dunia

: Dzat mengharum diam diam, hadirkan masyukku
tiada tungku cemburu jelaga, mendengki dekap dekam rindu
sebab Kekasih, menuang arak ke palungku

subuh aku, terhuyung


*****
bandung, 24 Mei 2011



D Z U H U R


di kota ini tak tumbuh bunga peony
namun dahulu jambe jambe memelodi

sesiang soka menitik
serenande dzuhur mendulang raga

tembok kota ruku' pun bersujud
membasuh huruf huruf duri, sekira ada terlontar

di taman lembah bukit ini, orang orang memandu tahmid
kecintaan teramat akan Rasul, kekasih Allah

*****
bandung, 24 Mei 2011












































KASIH MEMBAWAKU JALAN


terduduk kita merundukkan getar. minum teh agak manis panas, dengan uap
mengepul. memagut seruputinya pelan, teramat pelan. kau dengan pekat kopi,
"seperti yang kau suka," katamu senyum dikukuh bebinar mata. ah sorot yang
acapkali kurindu. jejak seduhmu di bibir cangkir kopi. kubaca sebagai untaian
huruf huruf tipis yang senyap. helai pendek uban, bukan itu yang memulai rasa.
rasaku padamu. suatu saat kelak hingar. melilin redam gelap.

kasih membawaku jalan. menggamit telapakmu di jari jariku. hangat, sehangat
seduhan teh manisku. kasih ini sebentang kasihmu. rinduku sehampar rindumu.
jaga ia di setiap langkahmu. bagaimana, namun ? namun bagaimana? menekuri
tanya, pada jawab membuar asa. tunggu hingga beberapa depa musim semi. pun
di musim dingin, mantelkan doa biru. suluhkan ia di sumbu sumbu perapianmu.

ketika akan lelap, selimuti pijar relung. lantas bila pagi terbangun, tangkupkan
embun di segenap erat genggam. kasih kelak jalani tapak tapak kita. kukumpul
telah, merimbun pula rindu, tangan menyalak di kedatangan mentari pagi senja.

: padaMU, Tuhan kutitipkan, padaMU saja
*****
bandung, 23 Mei 2011

RUAS JARI


pada kenangan

ia kayuhkan tanda

yang suatu ketika terbahak bahak

lalu cibir berkelindan

lagu tergugu senyap


terdiam aku mengidung hening

dari ruas ruas jari ditiga puluh tiga

: kuasaNYA

lindap petir tanya,mengobar airmata

bagi Penyeru bumi


kedamaian, cinta tersenyum meneduh


*****

bandung, 23 Mei 2011

Kamis, 19 Mei 2011

CERPEN : TAPLAK UNGU

Cerpen : T A P L A K U N G U


Tura, neng Tura Amora anak ibu sayang. Kemarilah, Nak.”

“Hm, ya Bu. Sebentar.” Uya asyik membaca, selonjoran di kursi ruang depan.

“Uyaaa...!”

“Ya, Bu...!”beranjak ia temui ibunya, menaruh novel yang sedang dibacanya.

“Uya, ambillah taplak ungu itu. Sekotor itu masih juga belum juga dicuci?”

“Bukannya ini taplak kesayangan Ibu?” tanya Uya Tura sembari memindahkan vas bunga tulip plastik putih. Ditariknya taplak ungu favorit ibunya. Bukankah Ibu selalu suka bila meja depan ini berta-

plak ungu ini, Bu ?”

“Ya, tapi tidak pake kumal debu. Ambillah serat kayu wangi yang di laci bawah lemari Eyang.”

“Baik, Bu.” Ibu tak bosan-bosannya menilam meja depan dengan taplak ungu atau taplak serat akar wangi yang belasan tahun menghiasi ruang depan rumah. Konon taplak pemberian sahabat ibu, oleh-oleh dari bukit Papua. Entah sahabat atau mantan kekasih ibu, karena beberapa kali kulihat ibu menciumi taplak wangi ini sebelum ditaruh. Tak hendak ku risaukan ibu dengan ragam tanya, hanya saja pernah ibu mengatakan, bahwa helai taplak wangi ini dari sahabatnya. Itu saja.


*


Sehangus apa perbincangan koyakkan sulaman tangkai bunga taplak ungu ibu. Semakin hari kian lompat benangnya, turut pahami redupnya merindu cinta kasih ibu. Dagu bersitegang leher, berkecak pinggang menahan rimbun embun. Tampak enggan siur lambaikan sauh dedaun.

“Cerah pagi ini, Bu,” sapaku mencium pipi kanan Ibu.

“Hmm dan bapamu masih berselimut mimpi.”


“Bala-bala, Bu, Uya buat untuk Ibu yang kenapa akhir-akhr ini makin sering ke luar kota?”

“Ibu banyak kerjaan, mesti meeting ini itu, Uya. Hanya Ibu yang diandalkan bapa direktur.”

Ku coba tuk percaya, namun tak sanggup menyangkal rasa seorang buah hatinya. Aku terlahir dari cinta kasih ibu dan Bapa. Tentu adaku karena mahligai cintanya, pun Dio, adikku satu-satunya yang kini telah dewasa. Dio kuliah di 180 km jarak bentang kota, sekali atau dua kali seminggu datang melepas kangen pada rumah, atau mungkin padaku. Kami teramat akrab, hingga bila Dio demam pun, hanya mau kujaga. Kubawakan makan minumnya, sesekali dengan bi Iyem. Ibu? Telah beberapa bulan sibuk dengan karirnya. Sering bermalam-malam di luar kota. Bapa merasakan gelagat tak baik. Aku, pun Dio, tak bisa mengelak dari perubahan sikap ibu.


“Ibu kasihan pada bapamu sebenarnya, Uya,” kata ibu di suatu senja setelah sekian hari tak di rumah. Tak ada kicau burung. Mendung menggapai hadirnya gerimis. Dedaun kering tergolek di rerumput. Gundukannya menimbun parau risau kami.

“Tapi Ibu makin tak peduli Bapa. Bapa mulai sakit-sakitan,Bu,” tukasku.

“Penghasilan Bapamu tak memadai biayai kuliahmu juga Dio. Bisa Uya pahami? Itu sebab ibu sering lembur ke luar kota.”

“Bila demikian, mengapa Ibu begitu akrab dengan mang Jaya? Mobil dinas kantor betahkan tugas-tugas luar kota Ibu? Tak Ibu raba hati Bapa, Uya juga Dio, Bu?”

“Apa gaji mang Jaya melebihi penghasilan Bapa yang PNS, Bu?” aku terisak. Suara penyiar berita tv tak gemingkanku. Hatiku sekarat pedih oleh Ibu. Gerimis melonjak riang. Tak pula aku hanyut disejuknya, seperti biasa kuhayati rerintik.

“Bu...”

“Bu, tega Ibu melukai Bapa?”

“Bukan maksud Ibu lukai Bapamu,”

“Lalu apa?” sengit kuteriak tak seperti biasa. Kesantunan kulabrak. Maaf bu, aku sayang ibu namun muak juga oleh parfum harum ibu yang pasti dibelikan oleh mang Jaya. Sopir kantor yang telah beberapa tahun mengantar jemput ibuku mencari nafkah. Mungkinkah minyak nyongnyong ia semprotkan tuk ambil hati ibu? Melayangku pada indah kenangan. Betapa dimasa kanakku ibu bapa teramat harmonis. Aku juga Dio bermanja-manja memeluk hari-hari libur . Juga akhir pekan selalu kurenda dengan ragam warna kenangan cantik.


Tempat wisata selalu kita datangi mengisi liburan akhir semester sekolah. Menginjak dewasa, lambat laun seperti kesetanan ibu berkarir. Ibu memang pandai, taktis dan cermat. Amat wajarlah bila Ibu dipercaya direksi untuk memegang jabatan penting. Bukan karena direkturnya, Om Frans adalah sahabat kuliah ibu dulu. Tapi mengapa kedekatan ibu bukan dengan Om frans, malah si mang Jaya yang setia antar jemput hingga berhari-hari di luar kota. Teganya kau merebut kasih ibu, mang! Kau lukai istri juga anakmu di desanya sana.


Awalnya ibu mengendarai sendiri, tapi lantas memakai sopir, dengan alasan sering dinas luar kota. Tersayat nganga ini ibu, bila saja ibu mengerti. Juga Dio yang tak ambil pusing tapi tentu terluka. Terlebih- lebih Bapa. Beliau pandai menjaga perasaannya yang pastilah koyak menyerpih biru lebam romantikanya. Terkadang saja bapa bercakap panjang lebar tentang ibu, mungkin malu. Atau tak ingin melihat terpuruknya keindahan rumah tangganya. Bapa diam bukan berarti rapuh. Bapa tak ingin mengoyak luka kami. Hanya aku saja yang sesekali memijit bahu dan lengan bapa bila angin flu merasukkinya.


Hari-hari diisi kesabaran akan doa dan doa. Agar ibu kembali pulih, mengembangkan sayap-sayap kasihnya di rumah ini. Bukan pada orang lain. Sesekali Bapa marah rajam. Kurasa wajar, memang seharusnya marah dan melabrak mang Jaya! Orang-orang yang kukasihi bertengkar hebat, beradu mulut di kamar, suatu malam. Cepat kumasuk kamarku, berdoa , kugedor-gedor jendela kamar Tuhan. Untuk kebaikan ibu bapa yang sekarat lapuk.Kudengar pintu dibanting! Ibu sesenggukan menangis. Memohon agar bapa mau memaafkan kekhilafannya, karena perginya ibu adalah semata-mata tugas kerja!


pada Allah penggenggam bulbul manusia

enyahkan kelam bintang bintang

biar biarkan ia cemerlang teduhi larutnya malam

pada Rabb penyejuk kalbu, kuketuk sibak

teduh teduhi, eratkan hati ibu bapa

persembahkan kecintaanMu pada erat gegamit diri

simaklah aku ya Allah, dideru derai bebahu semesta

kudekap hangat senyapmu menyapa dinding

kubisik mohonku Rabb, pada lengan kakimu merengkuh


*


Tik tuk alarm bangunkan lelap. Ternyata tak hanya ponsel, tapi juga ketoplak ketoplak sepatu selop ibu mondar mandir di ruangan. Kuurungkan membuka pintu kamar yang agak derit. Tak berapa lama terdengar klakson mobil kantor ibu. Begidik kubayangkan mang Jaya klimis tersenyum sesakki benak dan rasa ibu! Cobaan apa ini, Tuhan ? Ia renggut ibuku, ia raup kasih ibu dirimbun cinta Bapa dan kami, anak-anak yang selalu rindu canda ibu.

Segera setelah tak kudengar ketoplak selop ibu, kubuka pintu. Kudapati kamar berserakan lembar-lembar kertas. Entah apa! Bapa meringkuk di kursi rotan bersofa tipis. Menggigil dengan badan panas. Haru yang mengenaskan.

“Pa, Bapa...ayo tidur di kamar”

Pukul 04.00 WIB.

Kutarik Bapa, terhuyung memapah tubuh gigilnya ke kamar. Kutatap taplak meja, taplak ungu! Robek dibeberapa sulaman tangkai bunganya. Entah siapa menaruhnya di meja, karena kemarin kutilamkan akar wangi!


Pagi beranjak. Harus tetap kusenandungkan doa, temani kicau mentari yang setia halau lara pelupuk sembab anak manusia. Tora Amora, harus tetap kupeluk kasih! Sebab adaku karena cinta genggam jemari Amora Ibu Bapa. Degup kencang rerumput basah bersimbah air air mata, teriakkan kidung, ajakku sunggingkan senyum diriahnya riuh mentari.


*****

bandung, 20 Mei 2011


U is u, wings up in the blue sky, luv u nice day!

Senin, 16 Mei 2011

GEROBAK ALAM

gerobak berjajar adalah roda roda hari. mendorong tata titi dan norma yang merosot

sedari tungkai pagi hingga lutut siang gemeretak, pun lengan malam. rupa rupa hal

gelayutinya. halus lentur juga berjeruji. bahwa panggung kita terkadang dibawah, me-

naut lalu ke atas. beberapa menggelontor cepat ke bawah, beberapa kuat menarik lu-

rus waskita diri di taman adab.


hidup merujuk kedaulatan susila. membisik menawar kata. sejauh mana bisa ayunkan

kewaskitaan sejati. di warung alam, gerobak sesekali menderu dengan pegas berkarat

jaman. mendorongnya mahal, jika tak silakan rela, namun bila lapang hati_ tak pelak

tanpa isyarat pun melaju ia. membawa kita, sesiapa pada sang hakiki.


gerobak berjajar adalah alam. bersimbah angin dan debu debu di reranting hari. membiar

tumbuh adalah binar mentari. bisik sorak sorainya hangat, menggamit telapak kita.


*****

bdg, 17 Mei 2011