jendela nella s wulan ,

jendela  nella  s wulan     ,

Rabu, 17 Agustus 2011

CERPEN: DI RERUMPUTAN






Bebulir mata, Allah, ia masih di musim kemarau. Gamit sendu, pelukki

senyap, sembab. Setelah repih lubang, sayat anyir sontak bak dipaku.

Kutahu Kau ada, Kau dekat, mungkin terduduk di bangku kayu muda
oleh gerimis_ aroma menawan jumpai kemarau,belum tiba penghujan.

Daun daun coklat melambai dipiuh angin. Lenggang halus jumpa debu.

Reranting senyumi bakal daun tumbuh. Bunga rebak, mahkotai rimbun.

O keindahan alam mana yang hendak kupungkiri? Dan kau, senja ini

kirim pesan: akan ke medical check up dulu. Entahlah , padahal ingin

ku duduk rebahan denganmu di rindang.Kita di rerumput dan ilalang

sekitar. Embun senja yang ranum, meneduhkan. Sejenak bebulir lembab.

Ingin kuwadahi ia hingga keringnya, tapi tak jua nitik. Bebulirku masih

kemarau. Di ujung sana bagaimana? Adakah angin panas derai sejuk?

Taklah kau suka diagnosa, atau jenguk seseorang yang juga cerah bila

dengar tapak sepatumu. Namun kau benci suntikan, tak suka aroma

obat_sepertiku. Sejenak keningmu berkeringat di ruang ber-ac. Ingin

kuseka , namun angin belum jangkaukan. Kau sibuk dengan kernyit dahi.

Tapi sibuk itu pilihanmu, dan kau tuluskan bakti pada warga bumi. Setang-

guh bahu dan tungkai menyangga tubuhmu. Selalu kusenang simak tawa

hingarmu, tak sungguh kerlingmu pada seseorang beraroma jarum suntik

dan labu infus itu bukan? Aha, ia bagian dari warna warni kehidupan, bah-

wa tak pada setiap orang kau bisa merebah ayun tenang. Berbincang senyap.
sc

*
Telah jelang senja berikutnya. Kembali kusambangi kebun rumput ini jum-

puti setiap keindahan kata di rimbun pohon. Harum rumput, pelepah kayu,

seperti rempah rempah binaran. Sejuk dan hangati nafasku. Esok, ketika

longgar waktumu, lukislah derak ingatmu. Padaku diketeduhan huruf huruf

mudamu. Aku akan bangga, pada merindingnya bulu kuduk di pagi embun .






lalu jika helai- helai buku kubaca, berjingkat kuduk, ditangkup syukur yang

selalu tatapku terbelalak. Buku spiral di pangkuan, sesekali kugigit bolpen

penawar sukacita. Masih kutulis helai di halaman berikut. Saling rebut gigit



dengan rumputasah, rasa embun daun senja, agak asin. Menerus lapang



rerumput ini membawaku nikmati kesejukan kebun.




*

Sesekali tampak anak-anak kecil bersepeda di pinggir jalan. Mereka bernyanyi,

berteriak-teriak menikmati masa yang belum kelok. Indah simak senandung de-

daun dihembus angin, rerumput yang sukacita teduhi sesiapa kita yang merebah

dan duduk-duduk di sini. Jingkat ranum embun yang senantiasa menyejukkan.

Kehangatan alam mana yang hendak kupungkiri? Allah_kekasihku, terima kasih.

Tak selamanya getir memahat di dada tulangku.


Senyap ini kupeluk sendiri, sesekali pipit cericit menyapaku. Seolah tahu bahwa


i pun kunanti, menemani hening mata yang tak hendak kulelapkan di sini .


Ragam bebunyian indah kusimak. Jika ibu tersayangmu bersamaku kini, kiranya


semarak senyapku. Kita akan berbincang tentang alam, kehidupan dan sejarahnya,


tentang sahabatmu ketika muda, bahas buku, mengenai bumi, negeri ini dimana ia


menyayanginya. Rasa sakit tak pernah ia rasa, rasa kasih dan sabar selalu ia tebar.


Sepertinya kita cepat menjadi sahabat, pun aku sebagai anak yang setiai kisah-kisah


tentangmu, masa mudanya dengan senyum dan tawa. Bila berjauhan, kita akan ber-


kirim kabar, hanya sekedar menyapa dan bertanya; apakah kau baik-baik di sana?


Sampaikan salam pelukku , bila kau jumpainya didoa-doa yang selalu kau panjat.




Dari terjal, liku-liku mengerikil, jejalan menabahkan senandung langgam. Temu terang.


berlan-bulan telah, bertahun, hikmati lembar kisahku. Teman-teman simpangsiur-

an tanya yang kadang mengusik. Hanya sahabat sejati yang sungguh mengerti tabiat



dan karakterkulah yang setia disamping. Ada prasangka menghilir, riak ronta dada,



sembari kurajut benang-benang esok. Hingga dapat kugunakan, rindu sapa menapakki

hari-hari. Rerumput disenja embun pun setia sejukkan, mereka serenadekan hidup yang
mesti kita nikmati, di kelok likunya. Allah, kekasihku, padaMu setiap kisah menggores,
masih kutulis di helai-helai berikut. Cericit pipit mengepak lincah, pucuk rerumput_sese-
kali menggelitik, aroma kebun, dedaun gemerisik hening. Celoteh pejalan kaki di pinggir kebun,

o kehangatan mana yang hendak dipungkiri, ia selalu pagi. Rerumput basah meraut jari-jari,


untuk ayun, ayuh jalan, berlari pun menangkup syukur. Menjumput kata di rimbun pohon.






*****






bandung, 17 - 20 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar