jendela nella s wulan ,

jendela  nella  s wulan     ,

Kamis, 19 Mei 2011

CERPEN : TAPLAK UNGU

Cerpen : T A P L A K U N G U


Tura, neng Tura Amora anak ibu sayang. Kemarilah, Nak.”

“Hm, ya Bu. Sebentar.” Uya asyik membaca, selonjoran di kursi ruang depan.

“Uyaaa...!”

“Ya, Bu...!”beranjak ia temui ibunya, menaruh novel yang sedang dibacanya.

“Uya, ambillah taplak ungu itu. Sekotor itu masih juga belum juga dicuci?”

“Bukannya ini taplak kesayangan Ibu?” tanya Uya Tura sembari memindahkan vas bunga tulip plastik putih. Ditariknya taplak ungu favorit ibunya. Bukankah Ibu selalu suka bila meja depan ini berta-

plak ungu ini, Bu ?”

“Ya, tapi tidak pake kumal debu. Ambillah serat kayu wangi yang di laci bawah lemari Eyang.”

“Baik, Bu.” Ibu tak bosan-bosannya menilam meja depan dengan taplak ungu atau taplak serat akar wangi yang belasan tahun menghiasi ruang depan rumah. Konon taplak pemberian sahabat ibu, oleh-oleh dari bukit Papua. Entah sahabat atau mantan kekasih ibu, karena beberapa kali kulihat ibu menciumi taplak wangi ini sebelum ditaruh. Tak hendak ku risaukan ibu dengan ragam tanya, hanya saja pernah ibu mengatakan, bahwa helai taplak wangi ini dari sahabatnya. Itu saja.


*


Sehangus apa perbincangan koyakkan sulaman tangkai bunga taplak ungu ibu. Semakin hari kian lompat benangnya, turut pahami redupnya merindu cinta kasih ibu. Dagu bersitegang leher, berkecak pinggang menahan rimbun embun. Tampak enggan siur lambaikan sauh dedaun.

“Cerah pagi ini, Bu,” sapaku mencium pipi kanan Ibu.

“Hmm dan bapamu masih berselimut mimpi.”


“Bala-bala, Bu, Uya buat untuk Ibu yang kenapa akhir-akhr ini makin sering ke luar kota?”

“Ibu banyak kerjaan, mesti meeting ini itu, Uya. Hanya Ibu yang diandalkan bapa direktur.”

Ku coba tuk percaya, namun tak sanggup menyangkal rasa seorang buah hatinya. Aku terlahir dari cinta kasih ibu dan Bapa. Tentu adaku karena mahligai cintanya, pun Dio, adikku satu-satunya yang kini telah dewasa. Dio kuliah di 180 km jarak bentang kota, sekali atau dua kali seminggu datang melepas kangen pada rumah, atau mungkin padaku. Kami teramat akrab, hingga bila Dio demam pun, hanya mau kujaga. Kubawakan makan minumnya, sesekali dengan bi Iyem. Ibu? Telah beberapa bulan sibuk dengan karirnya. Sering bermalam-malam di luar kota. Bapa merasakan gelagat tak baik. Aku, pun Dio, tak bisa mengelak dari perubahan sikap ibu.


“Ibu kasihan pada bapamu sebenarnya, Uya,” kata ibu di suatu senja setelah sekian hari tak di rumah. Tak ada kicau burung. Mendung menggapai hadirnya gerimis. Dedaun kering tergolek di rerumput. Gundukannya menimbun parau risau kami.

“Tapi Ibu makin tak peduli Bapa. Bapa mulai sakit-sakitan,Bu,” tukasku.

“Penghasilan Bapamu tak memadai biayai kuliahmu juga Dio. Bisa Uya pahami? Itu sebab ibu sering lembur ke luar kota.”

“Bila demikian, mengapa Ibu begitu akrab dengan mang Jaya? Mobil dinas kantor betahkan tugas-tugas luar kota Ibu? Tak Ibu raba hati Bapa, Uya juga Dio, Bu?”

“Apa gaji mang Jaya melebihi penghasilan Bapa yang PNS, Bu?” aku terisak. Suara penyiar berita tv tak gemingkanku. Hatiku sekarat pedih oleh Ibu. Gerimis melonjak riang. Tak pula aku hanyut disejuknya, seperti biasa kuhayati rerintik.

“Bu...”

“Bu, tega Ibu melukai Bapa?”

“Bukan maksud Ibu lukai Bapamu,”

“Lalu apa?” sengit kuteriak tak seperti biasa. Kesantunan kulabrak. Maaf bu, aku sayang ibu namun muak juga oleh parfum harum ibu yang pasti dibelikan oleh mang Jaya. Sopir kantor yang telah beberapa tahun mengantar jemput ibuku mencari nafkah. Mungkinkah minyak nyongnyong ia semprotkan tuk ambil hati ibu? Melayangku pada indah kenangan. Betapa dimasa kanakku ibu bapa teramat harmonis. Aku juga Dio bermanja-manja memeluk hari-hari libur . Juga akhir pekan selalu kurenda dengan ragam warna kenangan cantik.


Tempat wisata selalu kita datangi mengisi liburan akhir semester sekolah. Menginjak dewasa, lambat laun seperti kesetanan ibu berkarir. Ibu memang pandai, taktis dan cermat. Amat wajarlah bila Ibu dipercaya direksi untuk memegang jabatan penting. Bukan karena direkturnya, Om Frans adalah sahabat kuliah ibu dulu. Tapi mengapa kedekatan ibu bukan dengan Om frans, malah si mang Jaya yang setia antar jemput hingga berhari-hari di luar kota. Teganya kau merebut kasih ibu, mang! Kau lukai istri juga anakmu di desanya sana.


Awalnya ibu mengendarai sendiri, tapi lantas memakai sopir, dengan alasan sering dinas luar kota. Tersayat nganga ini ibu, bila saja ibu mengerti. Juga Dio yang tak ambil pusing tapi tentu terluka. Terlebih- lebih Bapa. Beliau pandai menjaga perasaannya yang pastilah koyak menyerpih biru lebam romantikanya. Terkadang saja bapa bercakap panjang lebar tentang ibu, mungkin malu. Atau tak ingin melihat terpuruknya keindahan rumah tangganya. Bapa diam bukan berarti rapuh. Bapa tak ingin mengoyak luka kami. Hanya aku saja yang sesekali memijit bahu dan lengan bapa bila angin flu merasukkinya.


Hari-hari diisi kesabaran akan doa dan doa. Agar ibu kembali pulih, mengembangkan sayap-sayap kasihnya di rumah ini. Bukan pada orang lain. Sesekali Bapa marah rajam. Kurasa wajar, memang seharusnya marah dan melabrak mang Jaya! Orang-orang yang kukasihi bertengkar hebat, beradu mulut di kamar, suatu malam. Cepat kumasuk kamarku, berdoa , kugedor-gedor jendela kamar Tuhan. Untuk kebaikan ibu bapa yang sekarat lapuk.Kudengar pintu dibanting! Ibu sesenggukan menangis. Memohon agar bapa mau memaafkan kekhilafannya, karena perginya ibu adalah semata-mata tugas kerja!


pada Allah penggenggam bulbul manusia

enyahkan kelam bintang bintang

biar biarkan ia cemerlang teduhi larutnya malam

pada Rabb penyejuk kalbu, kuketuk sibak

teduh teduhi, eratkan hati ibu bapa

persembahkan kecintaanMu pada erat gegamit diri

simaklah aku ya Allah, dideru derai bebahu semesta

kudekap hangat senyapmu menyapa dinding

kubisik mohonku Rabb, pada lengan kakimu merengkuh


*


Tik tuk alarm bangunkan lelap. Ternyata tak hanya ponsel, tapi juga ketoplak ketoplak sepatu selop ibu mondar mandir di ruangan. Kuurungkan membuka pintu kamar yang agak derit. Tak berapa lama terdengar klakson mobil kantor ibu. Begidik kubayangkan mang Jaya klimis tersenyum sesakki benak dan rasa ibu! Cobaan apa ini, Tuhan ? Ia renggut ibuku, ia raup kasih ibu dirimbun cinta Bapa dan kami, anak-anak yang selalu rindu canda ibu.

Segera setelah tak kudengar ketoplak selop ibu, kubuka pintu. Kudapati kamar berserakan lembar-lembar kertas. Entah apa! Bapa meringkuk di kursi rotan bersofa tipis. Menggigil dengan badan panas. Haru yang mengenaskan.

“Pa, Bapa...ayo tidur di kamar”

Pukul 04.00 WIB.

Kutarik Bapa, terhuyung memapah tubuh gigilnya ke kamar. Kutatap taplak meja, taplak ungu! Robek dibeberapa sulaman tangkai bunganya. Entah siapa menaruhnya di meja, karena kemarin kutilamkan akar wangi!


Pagi beranjak. Harus tetap kusenandungkan doa, temani kicau mentari yang setia halau lara pelupuk sembab anak manusia. Tora Amora, harus tetap kupeluk kasih! Sebab adaku karena cinta genggam jemari Amora Ibu Bapa. Degup kencang rerumput basah bersimbah air air mata, teriakkan kidung, ajakku sunggingkan senyum diriahnya riuh mentari.


*****

bandung, 20 Mei 2011


U is u, wings up in the blue sky, luv u nice day!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar