jendela nella s wulan ,

jendela  nella  s wulan     ,

Minggu, 30 Januari 2011

BDP : essay Handoko F.Zainsam

Sebuah catatan untuk materi penulisan puisi “RUMAH PENA”

Bagian 1

BERMAIN DENGAN PUISI*

Handoko F. Zainsam

*Untuk disampaikan dalam pelatihan menulis puisi di “Rumah Pena”.

Sahabat dan saudaraku,

Menulis puisi, pada dasarnya, tak beda jauh menulis surat, catatan, atau diari. Di sana banyak sekali renungan, kisah, tanggapan, gambaran, dan banyak lagi hal-hal yang bisa diungkapkan. Namun, tidak serta-merta menulis surat, catatan, atau diari bisa langsung disebut puisi. Kenapa?

Seperti halnya bentuk-bentuk tulis lainnya, puisi juga memiliki tata aturan atau struktur yang menjadi tulang penyangga pembangunannya. Hal inilah, akhirnya, menjadikan tulisan tersebut dikenal atau disebut sebagai puisi. Karakteristik struktur pembangunannya inilah yang membedakan puisi dengan bentuk karya tulis yang lainnya.

Lantas apa itu puisi?

Banyak sekali pakar yang membahas atau mencoba memberikan definisi pada puisi. Kalau menggunakan pendekatan asal kata dan bahasa, maka puisi berasal dari bahasa Latin (Yunani) dari kata poesis yang artinya ‘penciptaan’. Selanjutnya, banyak para pakar yang berusaha memberikan definisi pada puisi. Di antaranya adalah Carlyle yang menyatakan puisi merupakan pemikiran yang dituangkan dalam bentuktulisan yang bersifat musikal; Samuel Taylor Coleridge mengemukakan bahwa puisi itu merupakan kata-kata yang terindah dalam susunan terindah; dan Dunton berpendapat bahwa puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Dan, banyak lagi pakar yang mencoba mendefinisikan puisi ini.

Namun, dari definisi-definisi para pakar tersebut, semuanya merujuk pada ungkapan perasaan atau emosi, pemilihan kata dan rasa bahasa, aspek keindahan, imaji, asonansi bunyi, bentuk (typografi), makna, dan pesan.

Mari kita membongkar kembali puisi untuk kembali menyusunnya.

Dari berbagai definisi, struktur, dan karekaternya, puisi sendiri memiliki kekhasan yang ‘banyak’ pembaca sepakat menyebutnya puisi. Meskipun begitu, banyak pula terjadi perbedaan pendapat atas beberapa bentuk puisi. Hal ini lantaran puisi memiliki kelenturan dalam pembangunan penulisannya. Lepas dari haru-biru atau perdebatan panjang mengenai puisi, dalam kepentingan pembelajaran penciptaan puisi, saya akan kemukakan beberapa unsur-unsur penting dalam puisi.

Pertama, Puisi hendaknya memiliki rasa kata dan bahasa. Artinya, puisi mampu memberikan kekuatan pada tiap kata dalam bahasanya. Hal ini berkait erat dengan karakter puisi yang merupakan kristalisasi pemikiran. Ini yang membedakan puisi dengan karya bentuk narasi lainnya.

Rasa kata maksudnya adalah kekuatan dari pemilihan diksi yang kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Pemilihan ini pula yang kerap memunculkan banyak sekali penyimpangan-penyimpangan dalam puisi. Namun, penyimpangan ini justru menjadi kekuatan bagi puisi itu sendiri.

Rasa kata ini juga memiliki keterkaitan dalam pencapaian makna. Artinya, tiap kata yang dimunculkan dan bergandengan dengan kata lain menghasilkan sebuah makna yang baru atau terjadi penguatan rasa. Hal ini yang menjadikan puisi sebagai bahasa tulis yang memiliki tafsir makna beraneka ragam. Hal ini lantaran tidak ada aturan atau keharusan untuk menangkap dalam satu makna.

Rasa bahasa juga memiliki peran penting dalam pembangunan puisi. Rasa bahasa ini terkait dengan pemilihan bahasa yang digunakan dalam penulisannya. Aksen, dialek, dan berbagai kekhasan bahasa menjadi kekuatan yang cukup baik untuk pencapaian puitika.

Rasa bahasa juga memiliki cakupan pada majas dan gaya bahasa yang digunakan atau dipilih dalam penyusunan puisi. Penggunaan unsur-unsur terkecil bahasa dan pencapaian perkembangan makna bahasa juga menjadi kekuatan utamanya.

(Catatan: majas-majas tersebut antara lain, metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks).

Kedua, puisi hendaknya memiliki pencapaian estetika atau keindahan. Hal ini yang menyebabkan puisi menjadi karya tulis yang memiliki berbagai konsep keindahan yang bersifat abstrak atau konkret. Maksud dari keindahan yang bersifat abstak yakni keindahan dalam pikir dan rasa. Artinya, pembaca akan memperoleh ‘sesuatu’ setelah membaca puisi tersebut. ‘Sesuatu’ ini yang merupakan sisi batiniah atau spiritual, imaji, dan rasa pesona.

Keindahan abstrak ini mengaju pada kekuatan imaji yang dibentuk dari teks puisi. Di sisi lain keindahan abstrak juga mengacu pada pertarungan pemikiran dari apa yang hendak disampaikan dalam puisi.

Keindahan rasa atau citra rasa dan rasa pensona menjadi tulangpunggung dari puisi. Hal ini yang akhirnya menjadikan puisi sebagai kekuatan yang luar biasa untuk mempengaruhi perasaan pembaca. Di sinilah, nilai keakuan muncul secara kuat. Keakuan di sini, artinya, dari keakuan penulis lantas bergerak ke keakuan pembaca. Pembaca seperti menemukan sesuatu untuk ditolak atau diterima.

Keindahan konkret dijumpai dalam efek bunyi yang dihasilkan dan juga bentuk dari tulisan puisi tersebut (tipografi). Keindahan konkret di sini juga mengacu pada keindahan bunyi yang menyangkut rima, ritme, dan metrum (saat dibacakan). Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup diantaranya: Onomatope atau tiruan terhadap bunyi,bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi atau kata, dan sebagainya. Ritme merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritme sangat menonjol dalam pembacaan puisi. Metrum di sini merupakan ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata dalam setiap baris; atau pergantian naik turun suara secara teratur, dengan pembagian suku kata yang ditentukan oleh golongan sintaksis.

Ketiga puisi hendaknya menyapaikan suatu ungkapan rasa, pesan, pemikiran, kenangan, dan juga harapan. Penyampaian ungkapan yang tersebut di atas inilah yang menjadikan puisi sebagai karya yang bersifat personal atau menjadi karya yang bersifat universal. Artinya, segala ungkapan yang merupakan langkah lekaku penulis dalam menyampaikan segala perasaan, pemikiran, kenangan, dan harapannya.

Sahabat dan Saudaraku,

Menulis puisi memang merupakan kebebasan tiap personal untuk memilih dan memilah seperti apa yang menjadi tujuan yang ingin disampaikan dalam bentuk teks. Namun, perlu disadari bahwa puisi memiliki kaidah-kaidah tersendiri dalam penulisannya. Artinya, Ya, tidak diharamkan untuk melakukan pemberontakan. Namun, harus disadari bahwa pemberontakan hendaknya memiliki pondasi dasar atas apa yang hendak diberontak. Dan, puisi memiliki pondasi dasar pembentukannya.

Selamat Berkarya!

Salam Hangat

Handoko F Zainsam


*


nb: telah ijin share tuk ditaruh di jendelaku

makasih ... :)

OLALA


*****


bdg, 30 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar