jendela nella s wulan ,

jendela  nella  s wulan     ,

Minggu, 23 Desember 2012

*PROSA: ANAK LANGIT

ANAK LANGIT

kaki kaki langit, kuatlah
getar bumi, debar tanah
akan mata, hati dan tangan tangan
manusia maknai elegi
disetiap debur kepala
jauh ke lautan bumi
seteru genang
dari kemarau musim, suatu hari
angin memupuk dengan sayap sayap teduh,
sesekali memejam
dijauh dekatnya layang
maka, kaki kaki langit, kuatlah
bentuk menopang luas
dilelehan bongkah
dari setiap nyala (kakilangit, bdg, 08-12)


***** ANAK LANGIT

Birai muasalku, bapakku entah ke mana dan tak pernah kutahu yang mana. Ibuku kurus kering. Tubuhnya banyak dihisap badai, kata bude, pakde juga om jalanan. Tulang ibu tak sehat, jalannya membungkuk walau muda umurnya. Aku, dan kedua adikku adalah anaknya. Anak ibu jalanan. Aku, Jaley , adikku dipanggil Jalu dan Jali. Adik-adikku tak sekolah, ibu bilang; belum mampu_ nanti saja jika ada tabungan. Atau menunggu orang-orang kemilau yang baik budi Usianya berada dimasa wajib belajar. Setahuku wajib berarti harus. Tapi ah, dari 7 tahun usiaku pun aku hanya pernah belajar berhitung dan membaca di bilik kuyu. Orang-orang kemilau yang bersedia mengajar. relawan, kata ibu. kita belajar empat kali seminggu, mereka halus ucap serta warna-warni senyumnya. Kami senang di kelas bilik. Namun itu dulu, tahun-tahun ketika ibu mengandung Jalu. sampai sekarang terkadang saja kulatih Jalu mengeja dan membaca huruf-huruf, dengan teman di trotoar. Agar tak hanya debu-debu mereka eja. Agar tak hanya serapah dan teriak umpatan orang pejalan dan pengendara yang mereka baca. Membaca koran lusuh, majalah bekas atau apapun. Bila ada majalah gambar seronok, segera direbut Mase, pimpinan anak langit di sini. “Masih kecil, jangan coba-coba membaca buku dewasa!” katanya dengus. ***** Mase tinggi besar. Orangnya seperti lampu stop-an. Bila mendehem keras berarti lampu merah, kita segera menarik nafas kuat dan ibu-ibu muda mulai cemberut akan tanya, hal apa yang harus dihentikan. Kuning, bila Mase memicing dengan kerutkan kening, artinya anak-anak harus cepat menjauh darinya, bila tak ingin kena damprat. Sebab terkadang hal benar menjadi salah dimerah mata nyalanya. Nafasnya terkadang terbaui asam. Entah asam arak atau asam pahit udara malam yang seringkali menjadi temannya merenung. Segarang-garangnya Mase, sesekali ia mencipta syair, yang diajarkannya pada anak asuhannya. Lalu lampu hijau, ialah saat ia bersiul sambil bergitar, merupakan hal berharga. Artinya kita diperbolehkan tertawa, atau ia akan membagikan lembar ribuan untuk beli makan enak atau es dung dung. Aku sudah bisa mengeja dan membaca abcdefghij dst. Supaya tak ceroboh, supaya tak dibodohi orang, kata ibu. Padahal ibu pun tak pintar baca, jika ia membaca, kami seperti sedang duduk di becak. Maka berhitung: tambah kurang perkalian pembagian pun, ngos-ngosan kupelajari. Seperti mengayuh sepeda di gang, pun jalan kerakal dengan sekitar semak belukar. Lahan rerumput kering kecoklatan yang disinggahi kerbau kurus kepanasan digiring gembalanya. Semoga otakku terus memuat bilangan dan endap dengan baik. Mempelajari hal-hal baru, seperti lahap kambing dan kerbau mendapati hamparan rerumput hijau gemuk. Tapi hingga kini, bilangan hutang-hutang saja, yang entah kapan kudapatkan lagilah yang warnai baris-baris halaman buku tulis. Syair lagu ciptaan Mase harus dihafalkan, untuk mengamen di toko juga bus-bus. Angka-angka terdiam, turut termangu bersama pedih mataku. *****
Poster jalanan menjadi tetangga rumah bilik berderet. Kawasan kumuh, mereka bilang. Tapi bilikku istanaku, kami berteduh di sana. Aku, anak langit.Bila angin kencang, seketika pula sorong kiri kanan dengan penyangganya. Hujan deras, guyur pula tempat hunianku. esoknya, lembab sekeliling bilik. Langit sedang menyapa, juga dengan teriakan. Suara tangis bocah balita kepanasan sebab lembab bilik. Tangis nyaring seperti air didih dari teko yang melengking. Hidup adalah pengorbanan, kata mang Udin, tukang becak yang biasa mangkal dekat persimpangan kumuh kami. Ia seperti bapak yang sering menasehatiku, bila mas-mas jalanan merampas recehan uang ngamen. Mang udin pula yang sering membelikan nasi bungkus untukku dan adik. Bila Jalu nangis, sebab ramai orang berlarian mengejar pencuri, mang Udin membawanya keliling dengan becaknya. Selepas pukul 06.00 petang, mang Udin usai ‘berdinas’. Ia ke rumah lusuhnya dengan selalu berpesan, agar aku menjaga Jalu dan Jali. Mereka harus sekolah. Menguatkan kaki langit. “Aku anak langit,” Mang. Mang Udin senyum,” Pekat hitam langit malam tak selalu kelam. Ia berdoa untuk kita.” Maka, kaki kaki langit, sayap-sayap teduh, kuatlah menopang luas. ******** Bandung, 26 Oktober 2012,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar