jendela nella s wulan ,

jendela  nella  s wulan     ,

Sabtu, 03 Juli 2010

Cerpen Kolosal: Kala Dara Berkubang Duka

KALA DARA BERKUBANG DUKA
(Sayap Luka Manyar Mungil)


*** C E R P E N *** K O L O S A L ***
:
Risma Widianti;
Bening Hati;
Nella Wulandari;
Leliana Lesmana;
Afrilia Kelana Utami;
Sue Munggaran;
Nana Podungge;
Nie Niezma Rosida;
Rachel Permana;
Uly Giznawati;
Wahyu Handayani Iswandi;
Arganita Widawati.



1.
SEKERUMUNAN burung manyar bergerombol di dahan-dahan pohon turi, bercengkerama, mematuk-matuk bunga-bunga teronggong, mengoyak-ngoyak kelopak-kelopaknya hingga putihnya luka lebam kecoklatan oleh paruh burung itu, serpihan kelopak kembang teronggong melayang-layang jatuh.
Dari bawah, pada sebuah kejauhan, seorang dara perhatikan polah laku mereka, hatinya pongah mengingat bahwa dia juga pernah atau malah sering berlaku seperti
burung-burung manyar itu, bersama anak-anak dan bahkan laki-lakinya, berebut riuh lauk urab-keluban yang dia sendiri acap memasaknya dengan porsi tak pernah berlebih.
Dara bermaksud menggoda cengkerama mereka, diambilnya sepipih batu pecahan genting, dilemparkannya ke rerimbun daun turi dan tak sedikitpun kena memang, tapi getar
daun-daun akibat lemparan batunya membuat sekawanan burung manyar tergelagap dan terbang tunggang-langgang ke berbagai arah.
Dara pun tersenyum seolah-olah hatinya ikut terbang, mengawang bersama burung, melepaskan segala gundah kepiluan yang selama ini dirasakannya.
Manyar-manyar terbang ke penjuru langit, saling berkabar, saling mencari. Mereka pergi dan suatu waktu kembali dengan hati yang lebih tertata.
Dara lepaskan gairah matanya, memandang daun helai demi helai rontok, tapi bukan itu yang dia kehendak, mematuk-matuk batu sampai pecah, dara memecah cintan yang hinggap di sayap manis kupu-kupu demi menitip selembar daun turi yang lantas lenyap di rerimbun daun seiring pecahnya cinta dan dia ingin sayap kupu-kupu itu patah biar dia masak saja rontokkan daun itu menjadi lalapan makan malam seperti biasanya.
Bayang langit hinggap meramu di kelopak bunga teronggong, menyibak kerumunan manyar dari mata langit. Dara melepas senyum pada katub paruh yang menebing, kerling indah menjemput bahagia bermakna saat tepian yang teraba hinggap bersemi rindang dalam peka rasa.
Dara suntuk memperhatikan polah burung-burung manyar itu, merona binar di antara serpihan poros bianglala yang merajam layar, hingga manyar itu merasuk di antara teratai mata terurai.
Manyar-manyar pun pergi menjauh dengan keriuhan yang membuat dara tergugu, termanggu lalu dalam pasung kebisuan, menekuri, merenungi, meratapi, sepi.
Mata dara berkaca-kaca, dia membayang, duh seandainya lengkung pinggangku bak perhiasan, pusarku bak cawan bulat, perutku berpagar kembang bakung, leherku serupa menara gading.
Manyar-manyar kembali berterbangan, menarikan lenggang sayap-sayap. Meski mereka bukan elang yang gagah menaklukan udara, tapi mereka kepik bintang yang cantik meruang angkasa selaksa senyum hias hati dara, alirkan ketenangan nan halus lembut, jernih.
Manyar di hatimu sungguh setenang sejuk pagi, damai. Peluh menggenang seiring
manyar-manyar terbang, gairahpun bertukar rupa jadi gelisah.
Kemana manyar-manyar itu menghilang?
Kemana?
Oh itu! Itu!
Mereka mengibas sayap menembus arsy. Mereka khusyu bincangkan ceroboh dara. Angin kabari hal itu ke hati dara dan sekonyong-konyong dara linglung, limbung.
Pada benak dara terlayar kekhawatiran sangat jika manyar-manyar itu berubah rupa jadi ababil-ababil perang.
Duh!
Duhai dara, cemburu kah kau kepada kami yang bercengkrama sepuas hati karena engkau seorang diri? Seekor manyar mendadak menukik, hinggap di tangkai telinga dara dan lantas berbisik lembut.
“Mengapa tak kau pinjam saja sayap Icarus dan lalu terbang bergabung bersama kami?”
“Apa yang ada pada benakmu, wahai dara?”
“Kami tak terusik, kami hanya terkejut, tersentak kemudian kan kembali ke dahan yang sama,” gumam seekor manyar sembari terbang rendah pada kumpulannya dan mulai mematuk-matuk teronggong.
“Ah kau manyar-manyar, kepolosanmu, kejujuranmu, kesahajaanmu, membuatku dengki, pinjami aku sayapmu, kuingin seperti kalian,” bisik hati dara yang kerap merasa sepi meski pada keramaian.

2.
SEEKOR manyar mungil menukik, kepaknya lemah, mencari tambat, ia terluka dan jatuh terkulai lemas. Segera dara menghampiri dan meniup angin mulutnya.
"Apa yang terluka hei mungil, maafkan aku …" bisik dara dan dia pun membawa manyar itu di pangkuan telapaknya. Darah perlahan menetes dari sayap manyar mungil, dalam satu helaan nafas telapak dara menyemburat merah. Merah serupa warna senja, merah serupa dara, merah mencabik kepedihan. Luka sayap manyar mungil adalah sayat luka hati dara.
Dan dara teringat akan dua belas masa yang telah dilaluinya, akan saja tetap seperti ini, hanya bisa menjadi pecundang yang cuma pintar melihat kegelisahan hati. Sementara darah manyar itu perlahan namun pasti mulai mengering.
Luka memang pasti tersembuhkan tetapi kenangan tidak pernah hilang, dan dara tidak ingin menambah kenangan buruk melihat manyar kecil itu mati sia-sia.
"Duhai manyarku tak hendak aku melukaimu," bisik dara.
"Ah tanganmu terlalu lembut untuk bisa melukai," lemah manyar kecil menjawab.
"Katakan padaku apa rupa kesakitanmu?" kembali dara membisik.
"Saat aku menikmati cakrawala biru itu dan …" tukas manyar sesenggukaan sembari menuding dengan cakar kering kakinya.
“Ya katakan saja mungilku?" sang dara tak sabar memotong kalimat manyar.
"Sebentar, sebentar... peluk aku dulu ... " tersengal manyar berkata.
"Baiklah ... begini kau nyaman?" senyum dara sembari menelangkupkan dua tapak tangannnya seakan selimut tebal bagi manyar mungil itu dan lantas kecupkan bibir ranumnya persis di paruh manyara itu.
"Auhhh ya,sepertinya sudah agak lebih baik ... " pekik manyar mungil kegirangan.
"Demi langit yang cerah, sembuhlah lukamu manyar mungilku dan berita apa yang kau bawa dari langit?"
"Ups ..." manyar menarik nafas selaksa beban yang demikian perkasa, "Takala aku bersama saudaraku menari-nari, bercanda bersama awan-awan itu, tiba tiba nun jauh di sana seorang lelaki tampan terlihat murung di tepian danau ..."
"Lantas ... " potong dara tak sabar.
"Ah sabarlah kau jelitaku …"
Sang dara tersipu disebut jelitaku oleh manyar mungil yang padahal tengah luka.
"Lelaki tampan itu terlihat murung dengan menggenggam mawar di tanganya ..... Aduuuhhhh, sayapku, sayapku jangan kau peluk terlalu erat …" tiba-tiba manyar
menjerit.
"Oh maafkan ... maafkan aku … ia maafkan aku, mungil ..." tergopoh sang dara mohon maaf.
"Ya, tak apa, maafkan pula aku membuatmu gugup …"
Hening. Seketika setelah maaf berbalas maaf.
"Hmmm … lalu beberapa dari kami mendekati sang lelaki itu ... Ah taukah kau apa yang terselip di punggungnya?"
"Apakah itu manyar kecilku? Belatikah, keris atau pedangkah?" tanya dara beruntun.
"Bukan ... bukan itu ..."
"Di punggungnya meyembul panah yang mengeruh … d-a-r-a-h!"
"Ah kenapa lela … "
"Sssttt … pelan kutanya ... wahai sang ksatria gerangan siapa yang memanahmu?"
"Apa jawabnya?!"
"Dia menjawab, ini adalah panah rindu dari sebrang danau yang jauh itu ... ia menusuk
aku hingga merajam setiap detak nadiku dan tiba-tiba segalanya … gelap, nanap, gelegap, lindap … wahai!"
"Kenapa?"
"Duhai jeliata … panah itu juga melukai tubuhku ... kini aku akan membawa kerinduan ini ke tempatnya, agar lukaku bisa mengering, juga sang lelaki itu perlu membawa kerinduanya agar lukanya juga mengering"
"Biar aku obati sini lukamu mungil ...."
"Tidak jelita … engkau takan bisa mengobati lukaku ... kerna engkau akan mengobati luka yang lain ..."
Dara tertegun. Manyar mungil tertatih mengembangkan sayapnya.
"Ah mari ku tolong ..."
"Tak usah, biarkan aku berusaha sendiri menemu peraduan sunyiku dan semuanya akan cepat pulih," sahut manyar pasti.
Manyar itu terbang lemah diantara gerombolan manyar gesit lainnya.
Detik-detik ketiak waktu yang semakin kunjung berdetak.
Lirih dara tak ingin letih membayang manyar semakin terkapar tak berdaya dalam kelananya.
Dara, lelehkan embun bening di kedua bola matanya sambil tak lelah melambaikan kelima jemarinya.
“Setia aku menantimu kembali, dalam peraduan waktu yang kiranya, akan lekas temukan
kita dalam satu tempat demi menjabar arti dan makna pengembaraanmu ...” senyum dara merona pada titik perpisahan senja ini.

3.
MANYAR mungil meski tertatih kembali melanjutkan kembaranya memperindah angkasa, ah meski engkau tengah kesakitan nyatalah tetap cantik kepakmu kala mengarungi awan awan biru. Liihat, seolah gugusan itu menyambut kebahagiaan nyata. Manyar memang terlahir untuk mencerahkan langit, menenangkan gundah hati. Tataplah kedamaian angkasa berhiasankan manyar-manyar mungil, niscaya ketenangan jiwa akan kau dapati. Sang dara tersenyum menemukan arti dalam dialog bersama sahabatnya tadi.
''Iya aku telah menemukan jawaban untuk sejuknya hari. Hening, bening, senyum simpul terbawa ke peraduan mimpi malam ini''.
Dara terlentang di hamparan hijau permadani rerumputan menatap birunya langit bening hening, oh inikah kesendirianku? Terpejam mata dara. Lihatlah, kelopak matanya bergetar, ada butiran bening di sudut-sudut matanya yang tetap pejam. Entahlah, apa yang ada di benaknya dan sebuah sentuhan halus membelai pipi dara,kelopak mata indahnya terbuka perlahan ... sepasang sayap mungil yang memberikan sentuhan hangat. Sayap manyar mungil membelai lembut pipinya, mengusap air matanya
"Hai, mengapa kau kembali?" tanya dara sambil merengkuh manyar ke pelukan.
"Aku ingin bersamamu ..." bisik manyar.
"Sungguhkah?" dara heran tak percaya.
"Ya, karena kita adalah kembaran jiwa. Kita akan selalu bersama membuang rasa sakit
kesendirian kita ..." bisik manyar lagi.
Dara hanya terpana, senyum pun perlahan tersungging di bibir mungilnya, dipeluknya manyar ke arah jantungnya.
"Kita akan saling menjaga ..."
Kini dara dan manyar mungil kembaran jiwanya mencoba menarikan tarian indah, tarian yang bermakna kebersamaan. Mereka akan menari sembari terbang, melayang, menggapai bahagia yang paling bahagia.
Di negeri entah ...

*** REPUBLIK KOLOSAL, 30 JUNI 2010 ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar