kelopak bunga dan dedaun itu perlahan berubah. dari semi warna beranjak kecoklatan.
kerut tetap senyumkan hari hari yang mendewasa. tiada keluh, bagaimana bisa, viento?
pada angin tak pernah terbersit benci, walau beterbangan ia karenanya. pada gemere -
tak cuaca yang sejati lembut, takkan ia mengumpat, walau kering kelopaknya jauhi reran-
ting dimana ia semilirkan pegangtangannya kuat kuat.
*
aku di sini, viento. tumpukan rumput ini usai dipangkas lelaki itu.untuk esok ia jadikan pakan
bagi ternak majikannya. lihatlah, rerumput ini lembab basah, masih berlinangan tetes dingin,
yang guyur berjam jam lalu. menguar harum. desau berhamburan ditangan kakiku. kaukah
itu, viento? masih kusimak menari narinya kelopak kering yang tak mencemooh. padahal sese-
kali kencang hembusan. "di tanah manapun tibaku, peluk senyum, catatkan indah pengemba-
raanku," ucapnya diderai lambai sepoi.
*
masih pukau kumelihatnya. ia telah mewarna di bahu lengan ranting , sedemikian menawan.
"begitu pun menurutmu, viento? iyakah? lantas, bilamana aku, viento?" engkau terus saja ber-
lari lari, kadang berjalan cepat ditarianmu. jauhnya awan, taklah jauh,katamu suatu kali. dan kau
menari, terus menari, kepakkan sayap mata dan hati. "ku bertanya padamu, viento."
*****
bandung, 08 Nopember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar