Layaknya antrian karyawan pabrik ketika pagi sebelum melangkahkan kaki ke ruang kerja, mereka menunggu giliran tuk memindai kartu pegawai. Menandakan bahwa kehadirannya terlalu awal, tepat waktu ataukah terlambat. Beberapa diantaranya menunggu sambil berdoa, sembari langkahkan satu dua jejak kedepan disetiap satu dua menit. Karena pabrik itu adalah perusahaan besar yang terkenal dan mutu buatannya sudah teruji, hingga membludaklah karyawannya.
Tentang doa sembari mengantri, ada seorang wanita yang selalu ingat pepatah dan nasehat neneknya, untuk gunakan waktu sebaik mungkin. Kau tak kan tahu kapan rejeki akan Allah berikan. Basahilah selalu kerongkongan, segala rongga diruang tubuhmu dengan doa pada Yang Mulia, Penggenggam setiap peristiwa hambaNYA. Detak mudamu, detik berlalu tak luput dari pengawasan Rabb. Karenanya, walau tak banyak permohonan atau sudahlah malu karena demikian seringnya meminta, ia lafadzkan dzikir yang hanya ia dan Al Qoyyum saja menahu. entah beberapa orang diantrian itu, ada yang sibuk bercakap-cakap dengan teman didepannya, ada pula yang senyum atau diam merenungi pagi .
Pindai memindai adalah cara yang untuk kini masih tepat digunakan oleh kantor-kantor untuk absensi. Bagi kantor kepolisian, sangat jitu untuk melacak sidik jari siapapun yang akan membuat sim, atau penandaan bahwa seseorang telah melanggar ketentuan. Bagi supermarket dan bandara, memindai ampuh untuk mengecek barang bawaan, apakah terdapat barang terlarang ataukah aman tasnya dibawa masuk dan terbang.
Memindai merupakan cara yang tak dapat dikelabui oleh siapapun karena sistem alat dibuat sedemikian rupa. Terkecuali bila nomor sistem diketahui dengan menggunakan pin atau password.
*****
Pagi jelang siang ketika hening embun tak keluh diganti basuh hangat mentari, genangnya betapa indah, tak pernah pudar dibenak. burung pipit sesekali menukik dan bersiul. Menandakan hari begitu indah, hantar hari-hari siapapun yang hendak laju, menulis karya, memahat rasa dan kata. Keindahan yang tak terbantahkan ketika
masih mampu tuk mengeja, mengetuk jendela dan pintu-pintu manapun yang bisa terbuka, untuk dilalui, dipetik hikmah dari tangkai-tangkai bebunga kursi dan meja.
Sesungguhnya alat pindai selalu ia bawa kemanapun ia berada. Wanita itu, ya wanita itu adalah sahabat baruku, mendapatkan alat pindai entah dari siapa, karena tak seorangpun boleh mengetahuinya.
Ini pemberian sahabat, katanya suatu kali sewaktu kutanya ketika kedapatan sedang melihat sambil menunduk, menekukkan pandangnya
demi membaca sesuatu yang terpindai. Entah apa yang ia lihat. Kemanapun ia pergi tak pernah tidak ia bawa alat pindainya. Dan tak pernah kuketahui pula dimana ia taruh alat itu, barangkali dibalik sweater, disaku bajunya atau di kaoskaki, atau bahkan di balik blusnya, tak seorang pun tahu.
Aku suka memindai, katanya suatu saat padaku. Karena dengan demikian aku tahu apa rasa dan isi hati orang-orang yang berbicara padaku. Apakah ia jujur atau hanya berbasa-basi. Apakah seseorang itu sejatinya baik seputih kapas atau hanya buram kusam ucap dan hatinya. Apakah temanku hanya berteman karena kekayaan bapakku atau memang ia berbagi persaudaraan denganku.
Baiklah, aku sedang tak ingin berdebat denganmu, kamu hebat. Aku senang menjadi sahabatmu dan berterima kasih pada pertemanan ini. Namun kini, mohon pindailah aku bukan dari telapak tangan serta sidik ruas jariku. "Lantas darimana kulihat?" tanyamu tersenyum tipis. Jawabku," Pindailah relungku." Entah kemudian apa yang ia genggam, karena tak pernah kutahu alat pindai apa yang ia miliki. "Hatimu pada orang terindahmu, ia lelaki sejatimu," jawabnya perlahan . Bayu lembut simpuh berhembus, burung-burung bersiul, kumandangkan kidung pagi .
********
Bandung, 12 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar