bedak apa itu, bu
mengidung petang saat bebintang mulai tandang dengan larillari kecil
sembari pikuk cengkerama. seorang anak perempuan saksikan tivi dengan
seksama menanya tentang berita pilu akan tangis sesenggukan ibuibu yang
simbah genang hujan beralih kesembab matanya. bengkak merah kehitam ,
bukan pandangan indah."mengapa ia, bu? ada apa dengan sembur asap gu-
nung merapi? mengapa orangorang bersedih, berlarian?"
anakku, Gusti sedang menguji dan mencoba kita dengan letusan merapi. "tapi
kenapa sesak kulihat gumpal asap yang seperti bulu domba itu ya, bu?
Nah itu.. yang itu lihat, bu bedak apa yang ia pakai? mengapa tidak putih seperti
bedak dingin yang biasa ibu pakai? nenek itu, bu, berkacakaca matanya, linang
tetes airmatanya , ah bukankah bedak dingin itu adem dan tidak pedih. itu bukan
bedak dingin seperti yang ibu pakai? mengapa abu menghitam dan seperti lumpur?
ia menangis dengan bedaknya, bu?" perlahan sang ibu menjawab tersedak sebab
memang tayangan tivi tentang korban letusan merapi yang mengharukan. "Anakku,
bedak itu bukan bedak dingin lulur seperti yang ibu pakai, bedak itu adalah lumpur
yang sembur dan belum sempat dibersihkan karena tak pula tersedia air tuk mem -
bilasnya saat itu. bedak itu panas hingga genang linang airmatanya menahan pedih.
rambut mereka pun gimbal karena sembur lumpur yang memilu."
"begitukah, bu, bukan bedak dingin butiran? ah, panas lumpurnya ? tak kuasa ku
menontonnya, kasihan mereka, bu, semoga cepat tiba pertolongan ya, bu. juga
gunungnya aman berdamai tak muntahkan lava lagi."
" Gusti sayang mereka kan, bu? Oh, bedak itu bukan bedak dingin, bu ?"
. . . . . . . .
********
Bandung, 07 Nopember 2010